PEKANBARU — Di tengah gerimis sore yang membasahi Kota Bertuah, ribuan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari seluruh Nusantara mulai berdatangan ke Pekanbaru. Mereka membawa serta harapan, aspirasi, dan mimpi-mimpi besar tentang masa depan organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia. Kongres XXXIV HMI yang mengusung tema “Implementasi Ulul Albab untuk HMI Menyejarah” bukan sekadar perhelatan rutin lima tahunan, melainkan titik balik sejarah yang menentukan arah pergerakan HMI di era yang penuh gejolak ini. Minggu, 25 Mei 2025
Atmosfer politik internal HMI menjelang kongres terasa begitu dinamis. Di berbagai sudut kota Pekanbaru, dari hotel berbintang hingga rumah makan sederhana, diskusi-diskusi serius tentang calon pemimpin masa depan berlangsung dengan intensitas tinggi. Para kader senior dan yunior terlibat dalam perdebatan yang constructive namun penuh gairah, membahas visi-misi para calon yang telah mencuat ke permukaan.
Tiga nama besar telah mengkristal sebagai kontestan utama dalam bursa pencalonan Ketua Umum Pengurus Besar HMI periode 2025-2027. Pertama, sang Jenderal yang kembali mencoba peruntungan untuk ketiga kalinya dengan pengalaman dan jaringan yang telah teruji. Kedua, putra dari tokoh senior HMI Makassar yang mendapat dukungan kuat dari kalangan pemodal besar di lingkungan HMI.
Ketiga, mantan Jenderal yang memasuki arena kontestasi dengan sokongan penuh dari kekuatan penguasa HMI yang akan segera berakhir masa jabatannya.
Yang menarik dari dinamika pencalonan kali ini adalah munculnya generasi baru pemimpin HMI yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam tentang tantangan zaman.
Muh.Ahyar dari cabang Mamuju yang kebetulan sekarang menjabat sebagai ketua Badan Koordinasi Sulawesi Selatan dan Barat. Salah satu terbaik yang dimiliki bumi Manakarra Sulawesi Barat, yang mengusung tema “Ulul Albab” yang dipilih sebagai semangat kongres.
Pemilihan tema “Implementasi Ulul Albab untuk HMI Menyejarah” bukanlah keputusan sembarangan. Ulul Albab, dalam tradisi Al-Qur’an, merujuk pada sosok yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan rasional dan kebijaksanaan spiritual. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat tanda-tanda kebesaran Allah dalam fenomena alam dan sosial, kemudian mentransformasikannya menjadi aksi nyata untuk kemaslahatan umat.


